Tragedi Stolen
Generation di Benua Australia
Apa yang
terlintas di benak kita ketika mendengar kata “Australia”? tentunya yang
pertama adalah Kanguru kemudian Aborigin, Bumerang, Benua Baru, Negara Maju,
Pulau Benua dan lain sebagainya. Australia kini memang telah menjadi negara
maju yang disegani dunia. Sebuah negara yang dulunya merupakan koloni Inggris
ini memang paling identik dengan Kanguru, hewan unik yang populasinya hanya ada
di Australia dan juga ada sebagian penyebarannya di Papua.
Jauh sebelum
Australia ditemukan oleh Penjelajah Belanda yang bernama William Janszoon
sebenarnya masyarakat Sulawesi yang bersuku Bugis telah terbiasa mengarungi
lautan Selatan Nusantara dan berasilimasi dengan masyarakat suku asli Australia
yaitu Aborigin. Konon katanya, para penjelajah Belanda pun mengarungi Lautan
selatan Timor Leste karena mendapat informasi pelayaran dari para pelaut Bugis.
Walaupun Belanda adalah bangsa Eropa pertama yang berhasil mencapai Benua
Australia, namun Belanda tidak mendirikan Koloni di Benua tersebut. William
Janszoon hanya singgah disana pada tahun 1606 dan memendam niat menganeksasi
wilayah tersebut. Agaknya Belanda masih ingin fokus menanamkan kekuasaanya di
Nusantara terlebih dahulu.
Lain Belanda,
lain Pula Inggris. Selepas kekalahannya dalam perang kemerdekaan Amerika
Serikat. Yang menyebabkan Inggris harus melepas koloni terbesar mereka tersebut
untuk menjadi negara merdeka. Inggris mulai mencari-cari daerah lain yang bisa
mengobati luka kehilangan mereka atas Amerika Serikat. Tercatat pada tanggal 26
Januari tahun 1788 sejumlah besar Kapal Inggris tiba di Benua Australia dibawah
pimpinan Captain Arthur Philip untuk membentuk Koloni baru disana. Inggris
berlayar ke Benua Amerika dengan data Pelayaran yang dicatat oleh pelaut mereka
yaiut James Cook yang tiba di Benua Australia pada tahun 1770.
Semenjak terbentuknya
koloni pertama di Benua Australia, Inggris terus menerus mengirimkam misi
kolonialnya dengan mengirimkan lebih banyak penduduknya ke Benua Baru itu. Sejengkal
demi sejengkal tanah Australia diduduki Inggris. Hal ini mengakibatkan kontak
dengan penduduk Aborigin berlangsung lebih terbuka. Beberapa penduduk Aborigin
ada yang dapat menerima penduduk Inggris disana lalu berbaur dengan baik, namun
kebanyakan tak dapat menerima pemaksaan kekuasaan yang mengekang dan menekan
budaya tempatan.
Dengan semakin
banyaknya konflik yang terjadi antara penduduk Inggris dan Aborigin. Akhirnya pemerintah
kolonial mengambil keputusan untuk melakukan program “Asimilasi” pada tahun
1869. Program ini memiliki tujuan untuk bersahabat dan mendidik masyarakat
Aborigin tentang budaya Barat agar nantinya para Aborigin itu bisa menjadi kaki
tangan si Inggris. Mulia sekali niat ini, namun pada prakteknya tidak demikian.
Stolen Generation
Program
Asimilasi yang diusung oleh pemerintah kolonial Inggris di Australia ini
agaknya bertujuan supaya tidak mengulang kegagalan asimilasi mereka dengan
penduduk Indian ataupun para budak yang mereka bawa dari Afrika ke Benua
Amerika. Sayangnya program ini pada prakteknya bersifat memaksa.
Penduduk dewasa
Aborigin yang ingin berbaur dengan Inggris akan diperlakukan sebagai pegawai si
majikan Kulit Putih mereka dan diberikan pengetahuan tentang bahasa Inggris dan
segala macam cara berpakaian ataupun adat istiadat masyarakat Inggris. Sedangkan
anak-anak mereka akan dibawa ke tempat-tempat tertentu (Biasanya Gereja) untuk
mendapat pendidikan seperti sewajarnya masyarakat Inggris.
Yang menjadi
permasalahannya ialah ketika banyak anak-anak aborigin yang berkeliaran di
Kampung halaman mereka sendiri dan lebih memiliih untuk tinggal dengan keluarga
mereka yang mengamalkan adat istiadat Aborigin. Secara paksa anak-anak ini akan
dibawa ataupun ditangkap dan kemudian ditempat-tempat penampungan untuk kemudian
dididik ala Eropa. Tentunya kebanyakan orang tua tidak rela anak-anak mereka
diambil oleh pemerintah dengan cara paksa, namun pemerintah bersikeras bahwa
itu demi kebaikan masa depan anak-anak mereka. Hal ini menimbulkan konflik dan
perlawanan masyarakat Aborigin, namun sayangnya mereka sedang berhadapan dengan
penjajah nomor satu didunia saat itu. Mereka harus merelakan anak-anak mereka
dibawa entah kemana di didik dan dipaksa melaksanakan ajaran agama yang bukan
ajaran agama mereka.
Tidak jarang
praktek dilapangan mengakibatkan kekerasan saat sang ibu tidak mengizinkan anak
mereka dibawa. Isak tangis penduduk Aborigin pada masa itu, menjadi satu hal
yang biasa. Inggris berdalih, program itu untuk kebaikan masyarakat Aborigin sendiri,
supaya mereka tidak ketinggalan. Sedangkan bagi penduduk Aborigin, ini adalah
pemaksaan pencabutan jati diri mereka yang sebenarnya.
Stolen generation terus
terjadi hingga abad 20 hingga akhirnya secara resmi pemerintah Australia
menyampaikan minta maafnya melalui Perdana Menteri Kevin Rudd pada tanggal 23
Februari 2008. Secara resmi Perdana Menteri mengakui kesalahan pada masa lalu
dan berharap agar itu tidak merusak masa depan Australia. Selanjutnya Perdana
Menteri Australia itu juga mengatakan hal tersebut (stolen generation) tidak boleh terjadi kembali. Masa depan
Australia adalah kesamaan status sosial tanpa memandang suku bangsa.
0 Response to "Tragedi Stolen Generation di Benua Australia"
Post a Comment