Sejarah Penjajahan Jepang di Kepulauan Riau

Sejarah Penjajahan Jepang di Kepulauan Riau

Setelah kerajaan Riau-Lingga dihapuskan Belanda tahun 1913, praktis Belanda mengusai seluruh wilayah Kepulauan Riau hingga akhir tahun 1941. Barulah sekitar awal tahun 1942 Jepang masuk ke Kepulauan Riau setelah terlebih dahulu menaklukkan Belanda.

Kepulauan Riau diduduki tentara Jepang melalui Singapura. Tanggal 4 Februari 1942 Singapura mulai diserang Jepang setelah berhasil menduduki seluruh Semenanjung Tanah Melayu. Singapura diserang melalui jalan darat, setelah berhasil mengeberangi Selat Tebaran. Berselang tujuh jari, tanggal 11 Februari 1942 seluruh Singapura berhasil diduduki secara resmi di bawah pimpinan Letnan Jendral A.E Parceal Yamasita. Tepat tanggal 17 Februari 1942 secara resmi Singapura berganti nama menjadi Syonan To.
perang dunia kedua di singapura
Tentara Inggris Dan Jepang Di Singapura Berunding



Sebelum itu, enam hari setelah Perang Dunia II meletus yang ditandai dengan serangan Angkatan Laut dan Udara Jepang atas pangkalan perang Amerika di Pearl Harbour (Hawai), tepatnya 14 Desember 1941, Kota Tarempa yang terletak di Laut Cina Selatan yang merupakan ibukota district Siantan wilayan keresidenan Riau, diserang oleh tiga squadron pesawan Jepang. Pesawat-pesawat itu menghujani Kota Tarempa dengan bom-bom dan tembakan-tembakan senapan mesin. Serangan tersebut menewaskan 148 orang penduduk, 363 orang cedera dan menghancurkan setengah Kota Tarempa. Lima hari kemudian kembali Kota Tarempa diserang yang dikuti pendaratan Angkatan Laut Jepang tanggal 25 Desember 1942.

Kota-kota lain di Kepulauan Riau yang mengalami serang udara Jepang pada awal Perang Dunia II (walaupun tidak segencar yang dialami Kota Tarempa) ialah Tanjungpinang, Kijang, Sambu dan Dabo Singkep. Sedangkan pendaratan dan pendudukan tentara Jepang di kota-kota Kepulauan Riau selain Tarempa umumnya dilakukan setelah Singapura jatuh ke tangan Jepang. Dari Singapura pasukan-pasukan Jepang menyebar menduduki Kepulauan Riau. Kota Tanjungpinang sebagai ibukota keresidenan Riau baru diduduki Jepang tanggal 21 Februari 1942.

Karena Kepulauan Riau diduduki oleh unit-unit tentara Jepang dari garnizun Singapura, maka itulah sebabnya pemerintahan Jepang di Kepulauan Riau (Bintan To) dijadikan bagian dari pemerintahan Singapura (Syonan To Kabitai). Sejak mendaratnya di Tanjungpinagn tanggal 21 februari 1942 pimpinan tentara Jepang telah mendapat bantuan dari tokoh-tokoh Cinta Tanjungpinang, antara lain Cia Sun Haw, Oei Cap Tek dan Oei Pit Sip cs.

Kedatangan tentara Jepang ke Kepulauan Riau seolah-oleh todak mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia di Kepulauan Riau seperti di daerah-daerah lain. Hal ini bukan karena propaganda Jepang, bahwa mereka datang demi kepentingan bangsa Indonesia yang terjajah, akan tetapi untuk mengusir dan membela bangsa Indonesia dari kekuasaan Belanda. bukan karena kurang meresapnya propaganda Jepang itu tetapi karena Pemerintah Belanda menjelang tercertusnya Perang Dunia II telah menangkap belasan pemuda-pemuda Kepulauan Riau yang dituduh pro Jpenag dan mereka telah dibawa ke kammp-kamp internir di Pulau Jawa antaranya di Garut, Jawa Barat.

Itulah diantara sebab mengapa kedatangan tentara Jepang di Kepulauan Riau tidak mendapat sambutan apa-apa dari golongan pribumi, kecuali dari tokoh-tokoh Cina. Selama hari-hari pertama pendaratannya di Kepulauan Riau tentara Jepang telah melakuan hukum perang, terutama terhadap tentara-tentara Australia yang melarikan diri dari Singapura dan ditemukan di Kepulauan Riau. Baru kemudia oleh pemerintah Militer Jepang itu dipulihkan dengan pejabat-pejabat Indonesia yang dimasa Belanda sudah menduduki posisi pemerintahan. Kedudukan mereka disesuaikan seperti sebelum pendaratan, hanya dengan istilah-istilah dan pengertian Jepang.

Serentak dengan jatuhnya Kepulauan Riau ke dalam kekuasaan pemerintahan Militer Jepang mereka langsung membawahi urusah-urusan pemerintahan, kehakiman, kepolisian, dan sebagianya. Tenanga-tenaga Indonesia pada mulanya hanya ditempatkan sebagai alat administrasi yang tidak begitu penTing utnuk melicintakan jalannya pemerintahan yang bersifat sipil.

Di bidang pemerintahan sipil yang dipulihkan meliputi pula penggantian istilah-istilah kedalam pengetian Jepang, diantaranya di tempat-tempat bekas kedudukan Districthoofd (controleur) seperti di Tanjungpinang, Tanjungbalai Karimun, Dabo Singkep dan Tarempa dipergunakan istilah To yang dikepalai oleh To Co (penguasa pulau). Sedangkan di tempat-tempat bekas kedudukan onderdistricthhoofd (Amir-camat) dijadikan Gun dibawahi oleh seorang Gun Co. Di atas dari To Co dan Gun Co ada jabatan “residen” (tanpa dipergunakan istilah Jepang) yang sebenarnya merupakan wakil Syonan To Kabitai (Datuk Bandar Singapura) untuk Kepulauan Riau.

Pada awal masa pendudukan Jepang di Kepulauan Riau yang menjadi “Residen” itu adalah seorang Jepang yang sudah tua, bekas anggota Corps d’elite tentara Kwan Tung yang anti Cina bernama G.Yagi. Sifatnya yang demikian telah membawa semacam rahmat bagi penduduk Kepulauan Riau selama masa pemerintahan Jepang, karena seelah mengetahui perimbangan penduduk Kepulauan Riau antara orang-orang Cina dan pribumi di mana jumlah Cita tidak jauh selisihnya dengan penduduk pribumi. Residen G.Yagi mengadakan pencegahan terhadap usaha-usaha me-romusha-kan penduduk Kepulauan Riau. Kecuali dijadikan Hei Ho dan Kai Gun yang jumlahnya tidak terlalu besar, tidak banyak pemuda-pemudi yang sempat dipekerjakan sebagai tenaga sukarela di luar Kepulauan Riau.

Usaha lain yang positif bagi penduduk Kepulauan Riau yang dijajaki Residen G.Yagi ialah yang bersangkutan dengan pembentukan barisan Gyu Tai (pasukan Pengawal Pulau-Pulau). Sehubungan dengan didirikannya Gyu Gun (tentara pembela tanah air= PETA) yang terdiri dari penduduk pribumi di Singapura (Syonan TO) dan Malaya oleh pemerintah Militer Jepang, Residen G.Yagi telah mengusahakan kepada penguasa Militer Syonan To agar Kepulauan Riau dibentuk pasukan yang sama dengan tugas khusus menjaga dan mengawal pulau-pulau.

Ide itu kemudian berhasil direalisasikan. Sejak November 1942 setelah tamat latihan bagi perwira-perwiranya di Syonan To, dibentuklah di Tanjungpinang apa yang disebut Gyu Tai (tentara pengawal pulau-pulau) yang dipersenjatai secara lengkap dengan tugas dan tanggungjawab yang sama dengan kesatuan-kesatuan militer Jepang sendiri.

Gyu Tai ini pada akhir masa pendudukan Jepang di Kepulauan Riau sudah berkembang sedemikian rupa sehingga merupakan sebuah batalyon (kurang lebih 600 orang di seluruh Kepulauan Riau) yang hampir seluruh personilnya dari prajurit hingga ke perwira-perwiranya terdiri dari pemuda-pemudi Indonesia di Kepulauan Riau, kecuali beberapa orang perwira dan bintara Jepang yang dittugaskan sebagai Pembina.

Mengetengahkan situasi masa pendudukan Jepang di Kepulauan Riau, maka catatan mengenai barisan Gyu Tai di Kepulauan Riau, seyogyanya diungkap secara wajar, karena dari kalangan itulah kemudian tumbuh dan berkembang kader-kader pejuang yang militant untuk menegakkan proklamasi Kemerdekaan RI di Kepulauan Riau pada masa revolusi fisik.

Patut diketahui bahwa diantara komantan Batalyon Gyu Tai (Gyu Tai Co) dengan pimpinan PETA (Gyu Gun- Tentara Pengawal Tanah Air) di Syonan To dan Malaya terjalin hubungan yang cukup erat. Hal ini ternyata kelak dimana Kepala Staf Malaya Gyu Gun Mayor Abdul Manaf menggabungkan diri kedalam Batalyon Kepulauan Riau. Pembentukan dilakukan di Pekanbaru pada awal tahun 1946 dan berpangkalan di daerah inderagiri dipimpin oleh R.H Mohd Yunus. Mereka inilah di kemudian melakukan aksi-aksi bersenjata di Kepulauan Riau yang diduduki Belanda. Mayor Abdul Manaf tewas pada pertengahan tahun 1947 di Alai Tanjungbatu/Kundur dalam operasi melawan Belanda.

Akibat dimasukkannya Kepulauan Riau dibawah pemerintah Jepang, di Singapura terjadi pula perpindahan penduduk antara kedua daerah ini. Tidak heran kalau banyak orang Kepulauan Riau di Singapura yang mempunyai keluarga dan sanak saudara di Singapura atau Malaysia hingga saat ini. Hal lain yang agak menggembirakan di masa ini ialah digalakkannya penggunaan Bahasa Melayu sebagai pengganti Bahasa Inggris dan Belanda yang dianggap musuh. Disamping itu bahasa Jepang (Nippon Go) dan tulisan Jepang Hiragama Katakana dan Kanji. Secara tidak sadar penggunaan bahasa Melayu tersebut membangkitkan pula rasa kebangsaan.

Sumber : Sejarah Kebesaran Kesultanan Lingga-Riau

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Penjajahan Jepang di Kepulauan Riau"

Post a Comment