Seperti umumnya diketahui saat membahas tentang Melayu, maka terbayang
dalam benak masyarakat pada umumnya tentang negara Malaysia, Upin-Ipin,
Sengketa perbatasan dan klaim budaya.
Baiklah kita bahas satu persatu
Pertama tentang pengaruh dari terkenalnya film Upin-Ipin
Film ini berdampak sangat bagus bagi orang Melayu Kepulauan Riau. Karena
pada saat masyarakat Kepulauan Riau ada di rantauan dan berbicara dengan logat
Melayu Kepulauan Riau maka akan terdengar komentar seperti ini “Lucu ya…
bahasanya kayak bahasa Upin-Ipin?” bagi mereka yang tanpa disadari mendengar
pembicaraan dengan menggunakan logat Melayu. Lalu orang Melayu itu akan
memberikan respon balasan dengan “senyuman”. Kata “lucu” itupun sama sekali
tidak bermaksud merendahkan, kata “lucu” disitu lebih terkesan kepada
ketertarikan si pendengar terhadap bahasa Melayu.
Terkadang ada pula kalimat tambahan berupa “orang Malaysia ya?”
Lalu si Melayu itu akan menjawab “Bukan, saya orang Kepulauan Riau”
penanya itu akan merespon kembali dengan mengatakan “owh.. Pekanbaru”
Si Melayu itupun akan menjawab lagi “bukan, kalau Pekanbaru itu
ibukotanya Riau” kalau Kepulauan Riau ibukotanya di Tanjungpinang”
“owh.. tempat film Laskar Pelangi
donk?”, si Melayu mulai menjawab agak kesal “bukan, kalau itu Pangkal Pinang,
ibukota Bangka-Belitung”,
Ya demikianlah perkapan tersebut, ujung-ujungnya akan mengakibatkan
mereka saling mengenal satu sama lain. Disinilah indahnya perbedaan itu. Namun
tidak jarang juga terjadi ketika Melayu-Melayu itu sedang asik berbicara
disebuah kedai/warung di luar daerahnya. Tanpa mereka sadari si pemilik warung
ataupun para pengunjung warung disekitar mereka memperhatikan mereka.
Hal ini terjadi karena watak orang Melayu memang seperti ini, sangat susah
mengendalikan diri ketika sedang berbicara didepan secangkir kopi, terkadang
Melayu-Melayu itu keasikan dan lupa kalau mereka tidak sedang berada di “Kedai
Kopi Hawai”. Akibat dari kebiasaan ini akan menyebabkan lonjakan harga yang
tidak masuk akal. Kalau biasanya secangkir kopi berkisar rp3000-rp4000 maka si
penjual bisa saja menaikkan harga tersebut hingga dua kali lipat. Apakah ini
namanya diskriminasi? Entahlah.
Adapun kenaikan harga karena menggunakan bahasa Melayu ditanah rantauan
merupakan juga pengaruh dari konflik perbatasan dan budaya dengan Malaysia.
Terkadang sebenarnya si penjual sadar bahwa Melayu yang sedang ngopi di
kedainya ini bukan warga negara Malaysia, tapi agaknya si penjual berprinsip
lain “bodo.. yang penting Melayu sama aja”. Hal ini membuat Melayu dalam
dilema.
'
'
(kejadian diatas sama sekali tidak dikarang-karang tetapi kejadian
sebenarnya)
Tentang Kepulauan Riau
Kepulauan Riau adalah sebuah provinsi yang giat mengamalkan seni budaya
Melayu hingga kehari ini. Jika melihat komposisi masyarakat Kepulauan Riau
sebenarnya tidak semua masyarakat Kepulauan Riau bersuku Melayu. Ada berbagai
macam suku bangsa di sini. Pada umumnya yang jelas kelihatan saat ini dan
paling besar pengaruhnya di Kepulauan Riau ialah Melayu, Cina dan Jawa.
Bahasa Melayu memang dituturkan oleh sebagian besar penduduk Kepulauan
Riau, tak peduli latar belakang keluarganya dari suku apapun tetapi bahasa
Melayu tetap menjadi bahasa sehari-hari bagi sebagian besar penduduk Kepulauan
Riau.
Pada era sekarang ini sebenarnya ramai juga penduduk Kepulauan Riau yang
tidak bisa berbahasa Melayu, ya.. sebutlah Bahasa Indonesia walaupun akar
bahasa Indonesia sebenarnya kembali lagi ke bahasa Melayu. Ramai juga anak muda
pada era sekarang sudah tidak lagi fasih berbicara dengan logat bahasa Melayu.
Intinya pada hari ini, hampir diseluruh negeri Segantang Lada mulai ada
perubahan logat dan bahasa yang mulai ikut-ikutan bahasa dari beberapa suku
lain di Indonesia ini terutama suku Jawa.
Baiklah tulisan kali ini sebenarnya bukan ingin membahas tentang
perubahan logat ataupun struktur bahasa di Kepulauan Riau, tetapi lebih
mengarah kepada pembahasan dilemma yang dialami penduduk Melayu Kepulauan Riau.
Diatas kita sudah membahas tentang kejadian nyata yang dialami oleh
ramai orang Kepulauan Riau di rantauan. (kejadian diatas tidak akan terjadi
jika orang Melayu sudah fasih berbahasa/logat daerah rantauannya).
Berikut ini beberapa dilema anak Melayu baik dirantauan ataupun ni kampung
sendiri
-
Tidak
perlu beradaptasi bahasa ketika bertemu dengan warga negara Malaysia, tetapi
anak Melayu Kepulauan Riau akan dengan bangga menyatakan dirinya orang
Indonesia padahal ia bersusah payah beradaptasi bahasa ketika berbicara dengan
teman yang berasal dari Indonesia, lalu si Indonesia akan berujar “Bahasa kamu
seperti bahasa Malaysia ya?”
-
Saat
pementasan seni budaya Melayu, orang Kepulauan Riau bisa akrab berdiskusi
tentang adat istiadat dengan warga negara Malaysia, tetapi merasa asing dengan
budaya-budaya Nusantara yang lain.
- Mendukung timnas Indonesia dengan semangat 45 saat Indonesia bertanding sepakbola dengan Malaysia, padahal didalam skuad Merah-Putih (Indonesia) tidak ada satupun orang Melayu. Sebaliknya di timnas Harimau Malaya (Malaysia) hampir semuanya orang Melayu.
0 Response to "Dilema anak Melayu Kepulauan Riau"
Post a Comment